Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 12 Juli 2020

Satu Menu Ekoturisme

Membandingkan pengelolaan Taman Nasional Banff di Kanada dengan Taman Nasional Kerinci Seblat di Sumatera. Banyak persamaan, tak sedikit perbedaan.

Harimau Sumatera goes to Banff Kanada

JALAN-jalan virtual ke Taman Nasional Kerinci Seblat di Jambi yang diadakan Direktorat Jenderal Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membawa ingatan saya kembali ke 2016. Butuh “perjuangan” untuk bisa sampai ke kota Sungai Penuh, lokasi taman nasional terbesar di Sumatera seluas 1,375 juta hektare ini—kira-kira 20 kali luas Jakarta.

Akibat pandemi, KLHK menggelar jalan-jalan virtual sehingga saya yang tinggal jauh dari Indonesia—dengan perbedaan waktu 11 jam—bisa melihat dan merasakan keanggunan Kerinci Seblat melalui Zoom. Padahal, jika menempuhnya secara fisik, perjalanan ke Kerinci sungguh panjang.

Setelah menempuh macet Jakarta menuju Cengkareng, saya terbang dari bandar udara Soekarno-Hatta ke Padang dengan pesawat paling pagi. Dari ibu kota Sumatera Barat ini lanjut dengan perjalanan 10 jam dengan mobil ke Sungai Penuh. Jalan berkelok-kelok dan turun naik menuju kota ini, memaksa saya harus menelan antimo di Kayu Aro agar tak muntah.

Sebetulnya ada rute cepat jika tak ingin memakai jalan darat, yakni terbang dengan pesawat kecil dari Jambi ke Sungai Penuh. Tapi pesawat ke bandar udara Depati Parbo Sungai Penuh hanya ada sehari sekali.

Segala kepenatan perjalanan itu seolah sirna ketika sampai. Sungai Penuh dijuluki “sekepal surga di Sumatera”. Kota ini berada di lembah yang dikepung pegunungan sehingga kotanya jadi syahdu, sorenya susut kelabu.

Mirip dengan Taman Nasional Banff. Bedanya, taman nasional di Provinsi Alberta di Kanada ini didirikan tahun 1885, sementara Kerinci Seblat baru ditetapkan menjadi taman nasional pada 1999. Selebihnya sama belaka. Saya catat tiga persamaannya:

Pertama, keduanya dikelilingi pegunungan. Kota Sungai Penuh, yang dimekarkan dari Kabupaten Kerinci, dikelilingi oleh pegunungan Kerinci. Sementara Kota Banff dikepung oleh pegunungan Rocky (the Canadian Rockies).

Kedua, taman nasional menjadi bagian utama lanskap kedua kota ini. Menurut Wikipedia, Kota Sungai Penuh memiliki luas keseluruhan 39.150 hektare, dengan 59,2 % atau 23.177,6 hektare merupakan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, dan populasi penduduk kota mendekati 89 ribu jiwa (BPS 2018).

Adapun Banff adalah kota yang terletak di dalam taman nasional yang luasnya 400 hektare dengan jumlah penduduk 8.000 jiwa. Sementara luas taman nasionalnya 664.100 hektare—separuh Kerinci Seblat. Karena kedua kota dikelilingi pegunungan dan taman nasional, hutan menjadi tumpuan hidup masyarakat kedua kota tersebut.

Salah satu gunung yang mengelilingi Kota Banff (Foto: Wiene Andriyana)

Ketiga, lanskap alam kedua kota juga mirip. Gunung dan danau menjadi aset paling unik dan “jualan” dua taman nasional ini. Ekoturisme yang ditawarkan pun serupa: hiking, kemping, pengamatan burung dan flora/fauna liar, memanjat tebing gunung, dan pemandangan alam. Jika Banff punya danau Moraine, Louise, dan Peyto, Kerinci Seblat punya danau Gunung Tujuh dan danau Kaco.

Dari tiga persamaan itu, perbedaan yang mencolok keduanya justru ada pada hubungan kota dengan taman nasional. Kota Banff dan Taman Nasional Banff berjalan sebagai sebuah kesatuan. Kota Banff bisa bernafas karena adanya taman nasional, dan sebaliknya taman nasional bisa menjalankan fungsinya dengan optimal karena dukungan sepenuhnya kota Banff. Jalan-jalan di Kota Banff mengambil nama-nama hewan liar semacam Jalan Beruang, Jalan Rusa, Jalan Berang-berang.

Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya dalam: “Secangkir Kopi Ekoturisme”, apa yang selama ini dicita-citakan oleh pejuang ekoturisme Indonesia, seperti: koordinasi multisektoral, sinergi kuat dengan pemerintah daerah, kemitraan publik-swasta-pemerintah, pendanaan alternatif untuk konservasi, promosi dan pemasaran yang kuat – bisa terlihat dengan jelas di Banff.

Tentu saja Sungai Penuh dan Banff berbeda dalam soal sejarah. Banff dan taman nasional sudah tua. Banff punya pengalaman panjang mengelola taman nasional yang menarik dan memberikan pengalaman mengesankan bagi siapa pun yang berkunjung.

Karena itu Kerinci Seblat bisa belajar ke Banff dalam meramu ekoturisme dan lanskap kota dengan mempelajari persamaan dan perbedaannya.

Di Banff, operator tur dan pusat informasi turis selalu menawarkan paket wisata yang tidak hanya berfokus pada keindahan alam dan hidupan liar taman nasional. Juga menjual nilai penting, budaya dan sejarah Kota Banff. Pengunjung jadi punya banyak pilihan datang ke sini dan menemukan menu-menu menarik yang tidak diduga sebelumnya.

Misalnya, ketika pertama tertarik datang ke Banff, saya hanya tahu bahwa taman nasional ini sangat keren alamnya dan kota tuanya yang bersejarah. Saya tidak tahu bahwa di kota ini dulu hidup masyarakat adat yang menghuni sudut-sudut kota dan masih banyak peninggalan serta upacara mereka yang dirayakan. Saya juga tidak tahu bahwa Banff adalah kota tua yang berpusat di sepanjang sungai Bow. Sejarah kearifan lokalnya dipelihara hingga hari ini.

“Temuan” itu telah membayar ongkos mahal dalam arti harafiah saya mencapai taman nasional ini.

Danau Moraine di kawasan Taman Nasional Banff, Kanada (Foto: Wiene Andriyana).

Keunggulan Banff yang saya dapat seperti satu tarikan menu adalah kolaborasi kota di sekitar Banff dan taman nasional dalam ekoturisme. Ada Kota yang jauhnya 287 kilometer dari Banff dengan sejarah pertambangannya. Atau Taman Nasional Jasper sebagai menu tambahan. Jadi, sekali terbang ke Banff yang butuh empat jam dari Ottawa, saya bisa mengunjungi dua taman nasional sekaligus.

Kesimpulan bahwa kolaborasi itu menjadi menu yang membuat menarik turis saya dapat dari pengunjung asal Tiongkok. Jauh-jauh ia datang ke sini karena tawaran sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui itu. Saya juga ngobrol dengan turis Indonesia yang tinggal di Amerika. Ia  memperpanjang waktu liburannya di Banff begitu tahu ada banyak hal dan pengalaman yang bisa didapat dari mengunjungi kota ini dan sekitarnya.

Dengan integrasi ekowisata itu, turisme menyumbang terhadap 90% pendapatan penduduknya. Pada 2015, total belanja para turis di Kota Banff mencapai US$ 885.5 juta atau sekitar Rp 12 triliun. Proporsi terbanyak adalah akomodasi dan kuliner. Belanja turis itu tak hanya dinikmati Kota Banff, tapi juga provinsi, bahkan negara Kanada. Walhasil, dari pusat, gubernur, hingga kota rajin mempromosikan taman nasional ini.

Jika Banff berhasil memanfaatkan alam bernilai ekonomi, Kota Sungai Penuh dan Taman Nasional Kerinci Seblat juga bisa melakukannya. Jika saya berkunjung ke sana, akomodasi tak hanya untuk mencapai danau Kaco atau Gunung Tujuh saja, tapi juga sejarah kota dan kulinernya. Atau keindahan Bukit Khayangan dan Danau Kerinci yang aksesnya mudah dari kota ini.

Danau Kaco di Kerinci Seblat (Foto: TNKS)

Jika saya tinggal di kota Sungai Penuh, saya bisa duduk di kafe sambil menyesap kopi kerinci yang masyhur itu sembari mendengar kisah bagaimana masyarakat memetik hingga mengolah kopi yang saya minum sore itu. Sekali lagi, secangkir kopi akan bertambah nilainya jika dimasukkan cerita manusia ke dalamnya.

Gabungan menu ekoturisme tadi hanya salah satu contoh kecil memperkuat nilai tambah wisata alam. Banff yang kecil bukan tanpa masalah. Makin banyak turis yang datang juga menekan lingkungan mereka. Lokasi parkir sempit sehingga pemerintah kota itu sedang melakukan konsultasi publik membatasi dan mengatur pengunjung.

Dalam acara virtual jalan-jalan itu, Kepala Balai Taman Nasional Kerinci Seblat mengatakan bahwa terbatas dan mahalnya akses ke sini menjadi kendala utama pengembangan ekoturisme. Jika memang itu masalahnya, kolaborasi pelbagai pihak—pemerintah, kota, provinsi, pusat, pengusaha, masyarakat, NGO—harus benar-benar terjalin.

Taman nasional ini punya banyak nilai tambah karena sudah ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia pada 2004. Taman nasional ini menjadi lanskap kunci harimau Sumatera. Menggelar jalan-jalan virtual menjadi salah satu solusi membuka inovasi baru dalam mengelola taman nasional ini di masa pandemi.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain