Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 11 Mei 2020

Mengapa Kita Membuat Aturan Lalu Melanggarnya?

Banyak aturan banyak juga pelanggaran. Mengapa kita tak kapok membuat aturan untuk dilanggar?

Merokok di bawah tanda larangan merokok (Foto: Health News Florida)

DI balik pembicaraan melalui webinar maupun rapat online yang saya ikuti akhir-akhir ini, muncul pertanyaan yang menarik: mengapa peraturan dilanjutkan pembahasannya meski aturan yang sama sebelumnya dilanggar? Dalam pengelolaan sumber daya alam, misalnya, pelanggaran tata ruang, perusakan kawasan-kawasan lindung dan konflik pertanahan hampir tidak bisa dihentikan. Mengapa kebijakan seperti itu masih terus dijalankan dari tahun ke tahun?

Dalam dua dekade terakhir saya mengamati dan mengikuti bagaimana kebijakan publik, terutama yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, dibuat, dijalankan, dan diganti dari waktu ke waktu. Secara umum, saya menyimpulkan bahwa kebanyakan orang berasumsi apabila suatu peraturan mengandung sanksi yang berat, orang akan mengikutinya. Dengan kata lain, kepatuhan terhadap suatu peraturan terdorong oleh rasa takut atau paksaan akibat sanksi jika tidak patuh.

Akibat asumsi seperti itu banyak peraturan seolah harus dibuat agar berbagai norma, standar, maupun kewajiban ditaati. Akibatnya, pengawasan diterapkan berlapis-lapis oleh banyak lembaga. Dari internal maupun dari luar, dan spesifik, dari administrasi dan keuangan, pelanggaran pidana ataupun denda. Lembaga negara seperti Ombudsman berperan sebagai tempat pengaduan oleh masyarakat apabila tidak mendapat layanan lembaga negara seperti yang seharusnya.

Dalam teori pengetahuan sanksi dalam aturan mengikuti tradisi positivistik, yang mengambil asumsi rasionalitas-linier, bahwa ada sanksi, ada paksaan, akan ada kepatuhan. Dengan fakta pelanggaran di lapangan cukup banyak dan terus-menerus, berarti logika positivistik itu tidak didukung fakta. Artinya, orang memilih melanggar peraturan karena mendapat manfaat lebih besar daripada sanksi yang mungkin ia terima.

Peraturan yang bertujuan mengarahkan perilaku masyarakat seharusnya juga rasional bagi orang banyak agar mereka mau mengikutinya. Rasional secara teknis, ekonomi, maupun sosial. Dari sisi administrasi, misalnya, anggaran untuk reboisasi yang turun di musim kemarau membuat ia tak punya alasan teknis untuk dihabiskan karena pohon akan mati kekeringan.

Sebaliknya, dalam kondisi berbeda, walaupun secara teknis bisa diterima, tetapi mungkin tidak layak secara ekonomi dan tidak diterima secara sosial, juga tidak akan efektif. Misalnya, rehabilitasi di lahan konflik tidak akan jalan karena cenderung akan gagal.

Contoh lain, dalam dua dekade terakhir pemerintah membangun sawah di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Papua. Seluruhnya gagal antara lain karena tidak diterima secara sosial. Tetapi karena kebijakan itu harus dilaksanakan, yang disertai dengan pengawasan sesuai pedoman meski tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, orang tetap menjalankannya juga. Akibatnya jadi kebijakan yang gagal karena “sanksi paksaan yang keliru”.

Dalam kondisi demikian itu, sanksi bukanlah pertanda yang tepat bagi pelanggaran. Mengapa orang melakukan tindakan yang salah, seperti menanam di musim kemarau, tetapi dianggap benar hanya karena sesuai dengan peraturan? Hal itu karena orientasi kebijakan tidak sepenuhnya mengandalkan pada hasil, tetapi mengandalkan pertanggung-jawaban administrasi. Maka, kegiatan yang sesuai dengan pedoman dan peraturan lebih penting, walaupun hasilnya gagal. Akumulasi dari situasi-situasi demikian itu menjadi penyebab rendahnya kredibilitas kebijakan.

Granato (1996) dalam artikel The Effect of Policy-Maker Reputation and Credibility on Public Expectations di jurnal Theoritical Politics menjelaskan soal rendahnya kredibilias sebuah kebijakan. Ia mengatakan bahwa reputasi pembuat kebijakan dan pengaruhnya terhadap kredibilitas kebijakan yang dihasilkannya sangat menentukan harapan publik terhadap kebijakan itu.

Menurut Granato, apabila suatu kebijakan diberlakukan oleh pembuat kebijakan yang reputasinya rendah, sikap skeptis publik akan jadi ancaman. Masyarakat yang menjadi target kebijakan tidak akan memperbaiki perilaku mereka sesuai tujuan kebijakan tersebut, karena mereka tidak percaya atas tujuan kebijakan itu. Mereka akan lebih percaya pada apa yang sudah biasa mereka lakukan sebelumnya.

Terkait dengan perizinan, misalnya, masyarakat lebih percaya pada transaksi-transaksi yang biasa mereka lakukan sebelumnya, meski mereka tahu hal itu sebagai sebuah pelanggaran. Akibat pertanggungjawaban anggaran dianggap lebih penting daripada hasil di lapangan, kegagalan kebijakan seperti itu tidak dianggap sebagai sebuah masalah (KPK, 2018).

Dalam jurnal yang lebih baru mengenai Policy Design and Practice, Hudson, dkk (2019) menyatakan bahwa seandainya pun persoalan reputasi dan kredibilitas kebijakan tidak ada, kebijakan tingkat nasional tetap alot ketika menurun ke provinsi dan kabupaten/kota. Penyebabnya karena otoritas politik di kabupaten/kota berbeda dengan nasional. Dalam omnibus law RUU Cipta Kerja, misalnya, sebagian besar kewenangan daerah hendak ditarik ke pemerintah pusat.

Publikasi berjudul Policy failure and the policy-implementation gap: Can policy support programs help? itu melihat kebijakan berdasarkan konsep “universalitas lokal” yang menggambarkan suatu proses di mana aturan umum, produk, atau pedoman semestinya dibentuk dan disesuaikan dengan konteks lokal, sehingga bisa diberlakukan. Sentralisasi dalam RUU Cipta Kerja melanggar konsep itu. Persoalan itu biasanya bagian dari “blind spot” birokrasi, manakala yang dipegang adalah kebenaran-kebenaran administrasi yang terpusat, daripada perbaikan kenyataan-kenyataan di lapangan (KPK, 2018).

Fenomena itu menunjukkan bahwa sentralisasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa mempertimbangkan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Ini adalah premis dari gagasan klasik Michael Lipsky (1980) tentang “birokrat tingkat jalanan” dengan kekuasaan diskresionernya yang telah terbukti berperan penting menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan. Meskipun keputusan aktor-aktor ini mungkin tampak kecil secara individu, mereka sangat menentukan tercapainya tujuan dalam sebuah kebijakan nasional.

Maka, selain mempertimbangkan penggunaan paksaan akibat sanksi, pertimbangan teknis, sosial dan ekonomi masyarakat diperhitungkan, juga dibutuhkan upaya menjembatani pemahaman antara narasi nasional dan lokal. Salah satu pendekatan yang bisa digunakan yaitu pembentukan apa yang disebut sebagai “pusat dukungan implementasi”, sebagai suatu entitas dari berbagai pihak yang bekerja berdampingan.

Keberhasilan peran para pendamping perhutanan sosial di lapangan, misalnya, selain perlu diformulasikan bentuk kelembagaannya, indikator lain adalah jika ia bisa dipakai sebagai contoh dan referensi untuk program-program lainnya.

Foto: Health News Florida

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain