Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 24 April 2020

Sedikit Puasa Banyak Sampahnya

Produksi sampah tiap Ramadan selalu naik. Saatnya menahan nafsu untuk mengistirahatkan bumi.

Sampah di jalur pendakian Gorakshep di titik terakhir menuju Everest Base Camp.

HARI ini kita mulai berpuasa di bulan Ramadan 1441 Hijriah. Seperti halnya semua ibadah, puasa juga adalah sebuah bentuk latihan. Itu kita tahu. Kita juga tahu apa yang dilatih saat kita menjalankan puasa, baik di bulan Ramadan atau puasa-puasa sunah di bulan lain.

Ramadan adalah bulan yang dikhususkan untuk melatih kita. Ini seperti “retreat”, waktu kita dilatih habis-habisan untuk bisa mengendalikan nafsu jasmani dan berempati kepada orang lain. Dua hal ini adalah hal utama dari Ramadan.

Masalahnya, dua hal inilah yang justru tak tampak di bulan Ramadan. Kita malah jadi lebih susah mengendalikan nafsu. Kita juga susah merasakan apa yang orang lain rasakan. Celakanya, kedua hal itu kita lakukan atas nama Ramadan.

Di bulan Ramadan kita justru bermewah dan berlebihan dalam makanan. Tidak hanya makan melebihi hari biasa, di bulan Ramadan biasanya kita lebih sering melakukan kemubaziran (yang sebenarnya adalah perbuatan setan yang sedang dipenjarakan saat Ramadan).

Saya pernah menghadiri dua acara buka bersama yang ketika selesai, makanan yang tersisa masih 60 persen. Artinya, kami makan tidak sampai separuhnya.

Ini tidak hanya terjadi di perjamuan buka bersama, juga di meja makan di rumah kita sendiri. Belanja makanan naik di bulan Ramadan. Padahal, mulut dan perut yang diisi jumlahnya tidak bertambah, kecuali jika kita bersedekah. Itu artinya, kita tidak bisa mengukur nafsu kita sendiri.

Akibatnya, makan akan terbuang percuma. Produksi sampah tiap Ramadan selalu naik dibanding jumlah sampah di hari biasa.

Menurut sejumlah data yang dikumpulkan oleh Tirto.id, pada 2016, di Jakarta, sampah yang masuk ke TPA Bantar Gebang selama Ramadan mencapai 7.073 ton per hari atau meningkat sebesar 7% dari jumlah normal 6.610 ton. Jenis sampah yang meningkat itu ialah sampah rumah tangga seperti sayur-mayur, buah-buahan, serta bungkus-bungkus makanan. Adapun di Kendari, sampah yang masuk ke TPA Puuwatu meningkat hingga 20-25% selama Ramadan 2017. Juga karena pasokan sampah rumah tangga berlipat ganda.

Apakah ini cuma fenomena orang Indonesia? Tidak. Di Mekkah lebih parah. Pada 2014, delapan ribu petugas kebersihan Kota Mekkah mengumpulkan 5 ribu ton sampah makanan dalam tiga hari pertama bulan Ramadan. Jumlah luar biasa itu belum termasuk limbah sisa 28 ribu domba potong. Menurut sebuah penelitian di King Saud University, 30% dari empat juta porsi makanan yang disiapkan di negara itu selama Ramadan (nilainya setara Rp3,8 miliar) tersia-sia belaka.

Bertolak belakang dengan semangat Ramadan, bukan?

Padahal, ongkos lingkungan yang harus dikorbankan untuk membuat makanan yang kemudian dibuang itu sangat besar. Kerusakan hutan di Indonesia, termasuk kebakaran yang selalu terjadi, lebih banyak disebabkan oleh industri minyak sawit. Hal yang sama terjadi di Brasil. Hancurnya sebagian besar hutan Amazon bukan disumbang oleh penjualan kayu, tapi oleh peternakan sapi.

Sampah dalam Angka (2018)

Itu belum menghitung gas metana dari peternakan yang merusak atmosfer kita. Hitunglah lagi energi yang dibuang dalam proses pengemasan, pemrosesan, sampai pengangkutan. Sampah kini menjadi musuh utama lingkungan setelah produksi emisi pembakaran energi. Ironisnya, sampah terbesar Indonesia adalah sampah organik, terutama sampah rumah tangga.

Itu semua seharusnya bisa berkurang saat kita puasa. Puasa adalah sarana untuk membuat bumi sedikit istirahat dari beban nafsu kita yang berlebihan. Yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Bumi semakin menderita saat kita berpuasa.

Komposisi sampah

Seiring pandemi virus corona, kita semakin arif memperlakukan tubuh kita sendiri agar bumi yang menjadi rumah kita satu-satunya tak semakin merana. Menurut catatan Dinas Lingkungan Hidup, pembatasan sosial membuat sampah Jakarta berkurang 620 ton per hari. Semoga seterusnya. Kita mulai dari Ramadan ini.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Sarjana Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain