Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 22 April 2020

Hari Bumi di Tengah Pandemi

Refleksi Hari Bumi: setelah peringatan pertama pada 22 April 1970, emisi malah naik, hewan liar makin merana, bumi memanas.

Bumi pandemi (Ilustrasi: Miroslava Chrienova)

HARI ini dunia memperingati 50 tahun Hari Bumi. Apa yang berubah selama setengah abad itu? Jawabannya justru: pandemi.

Virus corona yang mahakecil berhasil menghentikan manusia yang acap kali merasa besar dan benar. Corona mengingatkan kepada manusia, kita melanggar janji dan peringatan kita sendiri menyayangi planet ini. Kita mamalia bebal yang pintar berpikir, yang sombong karena diberi akal budi, sampai-sampai mengabaikan mahluk lain hanya karena mereka tak berbicara seperti bahasa kita.

“Mereka menderita, sekarat, dan mati, tanpa protes,” tulis Rachel Carson nun di tahun 1962. Ahli biologi kelautan Amerika Serikat itu menulis Silent Spring yang menohok dunia, menyadarkan betapa nafsu kita berakhir dalam keserakahan. Revolusi berpikir manusia berujung pada kehancuran sumber daya alam dan lingkungan. Industri kimia yang ditujukan untuk memberi kenyamanan dan kenikmatan kepada kita justru membuat mahluk lain merana.

Tentu saja Carson dihujat, dicibir, dicemooh. Hanya sedikit yang membelanya. Ia punya tiga minoritas yang hidup di Amerika yang masih rasialis: perempuan, tak punya gelar profesor, dan menggeluti bidang ilmu yang tak populer. Meski temuan-temuannya faktual, referensi sebagai basis kesimpulannya meyakinkan, Silent Spring tak berarti banyak di masanya. Amerika yang sedang membangun selepas Perang Dunia II dan tengah mengibarkan panji kapitalisme untuk mengungguli komunisme di Timur, terus merangsek dengan pelbagai macam industri.

Produksi emisi tak terkendali. Pertanian direkayasa agar menghasilkan sayur yang lebih cepat bisa dipanen, lebih gemuk karena terhindar dari hama alamiah yang memberinya zat penting bagi hidup tanaman, dan lebih memudahkan cara manusia mengolah lahan pertanian. Carson melaporkan, untuk membunuh kumbang Jepang saja, Departemen Pertanian Amerika mengampanyekan pemakaian endrin untuk membasminya.

Jumlah emisi setara karbon dioksida sejak 1970.

Pohon elm pun rusak karena disemprot terus-menerus. Akibatnya burung tak punya lagi sarang. Mereka terbang jauh untuk menghindari udara yang terkontaminasi. Kehilangan rumah dan habitat dan terbang jauh membuat populasinya menurun. Carson menuliskan ulang surat-surat penduduk dan laporan-laporan media lokal tahun 1960-an yang kehilangan suara burung setelah program pestisida itu.

BACA: Mengapa Kelelawar Jadi Sumber Virus Mematikan?

Padahal, kumbang Jepang bermigrasi ke Amerika bukan tanpa sebab. Mereka datang untuk menyerbuki tanaman ketika musim berbunga. Serbuk itu kelak bermanfaat bagi udara dan kesuburan tanah, berguna bagi habitat satwa lain untuk mendapatkan makanan. Membasmi mereka dengan menganggapnya hama punya rentetan akibat yang panjang.

Sebab bumi bekerja dengan hukum sebab-akibat—teori yang sudah ditemukan manusia berabad-abad sebelumnya. Sebab-akibat adalah hukum alam yang bekerja dalam logika bumi. Tak ada akibat tanpa sebab. Sebuah sebab bisa diakibatkan sebab yang lain. Semua saling terkait. Kepak kupu-kupu di Pasifik bisa memicu angin topan di Atlantik. Tiram yang mati di Polandia akibat kenaikan emisi setelah Revolusi Industri tahap II memicu virus flu Spanyol yang membunuh 100 juta penduduk bumi pada 1918-1919.

Rata-rata kenaikan suhu permukaan laut sejak 1970.

Maka jika virus corona kini jadi pandemi, memicu keresahan, kegelisahan, dan kemarahan di mana-mana, ia muncul sebagai akibat.

Kita memacu mesin ekonomi gila-gilaan untuk kesenangan dan kemudahan. Akibatnya emisi membumbung, ozon menganga, radiasi ultraviolet menggila. Bumi memanas yang membuat suhu laut naik. Ganggang mati, burung laut kehilangan pakan, ia menjadi sakit dan menularkan virusnya ke satwa lain ketika migrasi.

BACA: Virus Corona dan Pemanasan Global

Emisi kian tak terkendali karena penyerapnya juga tumpas. Kita membabat hutan untuk tempat tinggal, meluaskan lahan pertanian, memacu lebih kencang mesin produksi, juga keserakahan dan ketamakan. Hewan liar pun kehilangan rumah. Virus-virus pun kehilangan inang yang nyaman. Mereka lalu menginvasi ruang hidup manusia. Kita menyebutnya pandemi.

Satwa liar makin berkurang sejak 1970 dengan pelbagai sebab akibat ulah manusia.

Padahal, virus mungkin adalah sebuah penyebab. Untuk mengakibatkan manusia insyaf dengan apa yang sudah diperbuatnya selama ini. Para aktivis dan PBB membuat Hari Bumi pada 22 April 1970. Kebocoran kilang minyak di California membuat politikus Amerika sadar apa yang ditulis Carson benar belaka. Kimia adalah musuh alamiah planet ini. Tapi sejak peringatan Hari Bumi itu emisi kian membumbung, populasi meningkat, hewan liar terus merana kehilangan habitat dan dieksploitasi demi kesenangan kita.

BACA: Virus Corona: Buah Kita Merusak Bumi

Virus corona adalah pengingat kita mesti mendefinisikan ulang hubungan dengan bumi, dalam pelbagai level: pikiran dan tindakan personal hingga kebijakan-kebijakan politik yang ditaati banyak orang. Setelah pandemi selesai, semestinya kita lebih arif kepada bumi. Tak ada lagi hari khusus memperingati planet ini karena setiap hari adalah Hari Bumi.

Gambar oleh Miroslava Chrienova dari Pixabay.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain