Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 20 April 2020

Peluang Korupsi dari Penghapusan SVLK

Industri selalu ingin monopoli dengan melemahkan kekuatan politik dan institusi negara. Penghapusan SVLK dalam industri kayu bisa jadi model membuat peluang korupsi.

Peluang korupsi dalam penghapusan SVLK.

PEKAN lalu saya diundang mengikuti diskusi virtual bersama Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan dan para staf Kementerian Koordinasi Maritim dan Investasi. Diskusi yang sangat produktif itu mengenai dampak pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, yang akan berlaku 28 Mei 2020. Di dalam ada klausul soal penghapusan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)

Saya berduet dengan Profesor Ahmad Maryudi dari Universitas Gajah Mada. Tapi saya tidak akan menjelaskan apa yang didiskusikan saat itu, karena diskusi masih akan berlanjut. Saya justru ingin melanglangbuanakan pikiran ke tempat lain. Saya ingin membaca peraturan itu dari perspektif para penyusunnya.

Sepekan sebelum diskusi saya mendapat informasi dari beberapa kawan mengenai pembalakan liar saat ini. Anggap saja saya seolah-olah sedang berdiri di seberang sana, di seberang para pembuat keputusan, dan mencoba menelisik apa kira-kira yang sedang terjadi.

BACA: SVLK Dihapus Demi Apa?

Saya membayangkan para penyusun Peraturan Menteri Perdagangan berasumsi bahwa apabila Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) untuk industri kehutanan dihapus akan membuang jauh-jauh keterlibatan publik dalam prosesnya. Sehingga keputusan memusat pada status legalitas perusahaan secara eksklusif di dalam pemerintahan serta menghapus peran pemantau independen.

Hal itu dianggap akan berdampak positif bagi industri kehutanan dan ekonomi. Dasar pikirnya kira-kira begini: Pertama, kayu-kayu ilegal dari Papua dan Papua Barat akan mudah dimanfaatkan. Kedua, industri kehutanan tidak akan pernah ikut bertanggungjawab atas kematian industri pemasok kayu bulat di hulu, untuk itu harga kayu bulat harus ditekan serendah-rendahnya, misalnya dengan membatasi luas penampang kayu yang dapat diekspor. Ketiga, soal legalitas dikembalikan menjadi tanggungjawab pemberi izin dan penegak hukum. Mereka tak lagi perlu berpikir lagi soal rendahnya kapasitas institusional yang relatif terhadap luasnya arena illegal logging sekarang.

Dengan tiga pola pikir itu, industri kehutanan besar ataupun kecil akan kembali kepada prestasi terbaiknya, yaitu peningkatan dua kali lipat nilai ekspor pada 2013 sampai dengan 2018. Benarkah asumsi dan dasar pikir itu?

Kecuali ada sekelompok orang yang sedang membuat keputusan untuk merugikan kelompoknya sendiri, para pembuat keputusan itu pasti merasa dasar pikir ini benar belaka.

Ketika persoalan utama bisnis di Indonesia adalah korupsi—berbagai riset dan publikasi internasional sudah menyatakan hal itu—hambatan apa pun akan bisa diatasi yang tidak akan pernah didiskusikan secara terbuka. Untuk itu kerumitan maupun pro-kontra penghapusan VLK yang disampaikan oleh Deputi Menteri justru menjadi garis lurus yang sudah benar pada sisi ini.

BACA: Penghapusan SVLK Merusak Tata Kelola Hutan

Fenomena seperti itu serupa dengan apa yang dijelaskan dalam buku “Political Discourse Analysis: A method for advanced studentsyang terbit pada 2012. Isabela Fairclough dan Norman Fairclough, kedua penulisnya, berpandangan bahwa politik ditentukan oleh musyawarah, keputusan, dan tindakan. Politik harus bisa mengambil keputusan secara kooperatif, sehingga tahu apa yang harus dilakukan ketika ada ketidaksepakatan, konflik kepentingan maupun konflik nilai-nilai, ketidaksetaraan kekuasaan, ketidakpastian maupun risiko.

Bila begitu kondisinya, jangan pernah beranggapan bahwa para perancang kebijakan tidak tahu dan butuh pengetahuan mengenai masalah dan solusinya. Mereka justru sangat paham atas apa yang akan dituju dan kebijakan apa yang harus dibuat agar menguntungkan kelompoknya.

Sesungguhnya, tinjauan mengenai institusi ekonomi terhadap hubungan antara perdagangan dan buruknya institusi negara telah lama dilakukan. Misalnya, Quy-Toan Do dan Andrei Levchenko yang bekerja di World Bank dan International Monetary Fund dalam “Trade, Inequality, and the Political Economy of Institutions” (2005) menyebut bahwa kualitas institusi ekonomi negara, yang mencerminkan hasil penegakkan kontrak, perlindungan hak properti, supremasi hukum maupun sejenisnya, semakin dipandang sebagai penentu utama pertumbuhan investasi. Dalam hal ini, perdagangan menggeser kekuatan politik dan membuat suatu perusahaan menjadi lebih besar, termasuk kekuatan politiknya.

Situasi itu memiliki efek buruk pada kualitas institusi negara, karena perusahaan besar cenderung menginginkan kualitas institusi negara menjadi lebih buruk, agar mudah dipengaruhi. Dengan begitu, pelemahan lembaga pemberantasan korupsi dan gerakan anti korupsi menjadi suatu keharusan dan kita kini paham logikanya.

Toan Do dan Levchenco menyebut ciri umum dari contoh-contoh itu adalah bahwa perdagangan internasional berkontribusi pada konsentrasi kekuatan politik di tangan kelompok-kelompok yang tertarik melanggengkan institusi-institusi negara tetap buruk dan lemah agar mudah dipengaruhi. Tujuannya tentu saja untuk mengurangi persaingan usaha. Perusahaan besar tentu ingin memainkan monopoli karena persaingan butuh ongkos tak sedikit.

BACA: SVLK: Tulang Punggung Perdagangan Kayu

Saya jadi ingat apa yang dikatakan Brene Brown, seorang guru besar dan penulis dari Universitas Houston. Ia mengatakan bahwa “Only when we are brave enough to explore the darkness will we discover the infinite power of our light. (Hanya ketika kita cukup berani untuk menjelajahi kegelapan, barulah kita menemukan kekuatan tak terbatas dari cahaya kita)”.

Kita tahu di balik persoalan penghapusan Sistem VLK industri kehutanan ada titik-titik gelap dari serangkaian keinginan menguatkan peran industri dari politik maupun institusi negara. Kita juga jadi paham mengapa KPK dengan segala cara dilemahkan dan dipreteli kewenangan-kewenangannya. Kita akan segera menjelajahi kegelapan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain