Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 17 April 2020

Kopi: Minuman Sufi yang Terancam Pemanasan Global

Kopi adalah minuman para sufi untuk menemani dzikir hingga larut malam. Pada 2080 diperkirakan tak akan ada lagi kopi yang tumbuh karena pemanasan global.

Kopi dan Pemanasan Global (Shutterstock)

HARI-hari ini kopi sedang naik daun. Hampir di setiap pengkolan kita menemukan kafe atau warung kopi yang menyajikan minuman hitam ini dengan serius. Bukan lagi memakai biji kopi Robusta yang lebih murah dan kurang memiliki gradasi rasa, tapi kopi Arabika terpilih yang dihasilkan hanya oleh pohon-pohon kopi yang ditanam di ketinggian dan suhu alam tertentu.

Kopi Arabika, seperti namanya, memang awal mulanya populer di jazirah Arab, di pantai paling selatan jazirah, tepatnya di daerah Yaman. Pada abad ke-9, sejumlah pedagang Berber (Afrika Utara) dan Somalia membawa kopi asli Ethiopia menyeberangi laut merah dan menjualnya ke Yaman. Salah satu kota di Yaman yang menjadi tujuan perdagangan kopi adalah Mocha.

Dari nama kota itulah kita mengenal minuman mocha. Sebelum diperdagangkan, orang yang pertama membawa kopi ke Yaman dari dataran Afrika adalah Abu Abdullah Muhammad bin Sa’d atau yang dikenal sebagai Al-Waqidi. Beliau adalah penulis biografi para perawi hadits.

Dalam ilmu hadits, peran penulis biografi perawi seperti Al-Waqidi ini sangat penting. Mereka berjalan dari satu kota ke kota lain, menyeberangi lautan, hanya untuk mengumpulkan informasi tentang para perawi hadits Nabi SAW.

Merekalah yang memastikan apakah perawi ini jujur atau suka berbohong, punya hapalan kuat atau tidak, terpengaruh oleh politik atau obyektif, apakah satu perawi bertemu perawi lain. Dari situlah diketahui apakah sebuah hadits itu sahih atau tidak. Al-Waqidi yang selalu bepergian ini sering bolak-balik antara Afrika ke Jazirah dengan menyeberangi Laut Merah.

Dari Yaman, kopi itu kemudian menyebar ke negara-negara Arab lainnya, termasuk Mesir. Baru pada abad ke-16 orang Arab membawa kopi (qohwa) ke Turki dan dilafalkan dengan kahve (v dibaca w dalam bahasa Turki). Dari Turki kemudian menyebar ke negara-negara Eropa, termasuk Belanda (koffie) yang kemudian membawanya ke Hindia Belanda pada abad ke-16 untuk dibudidayakan.

Di kawasan Arab—dari Afrika Utara di ujung barat hingga jazirah di timur—kopi awalnya hanya dipakai untuk obat, terutama obat sakit perut. Dari para tabib, kopi kemudian menyebar penggunaannya ke masyarakat umum. Di antaranya adalah para sufi.

Kopi adalah minuman standar yang dipakai untuk menemani mereka berzikir hingga larut malam. Yang pertama memperkenalkannya ke komunitas tasawuf adalah Ali bin Umar dari Tarekat Ash-Shadili pada abad ke-15. Ini adalah tarekat sufi dari kalangan Sunni yang berkembang di Maroko, Afrika Utara. Begitu kuatnya image kopi pada tasawuf, hingga di Eropa pernah ada larangan meminum kopi karena dianggap “minuman muslim”.

Kini, tentu saja kopi menjadi minuman siapa saja. Setiap hari ada 2 miliar cangkir kopi dibuat di seluruh dunia. Dibandingkan pada 1960-an, produksi kopi dunia saat ini naik tiga kali lipat. Konsumsi kopi naik 5 persen setiap tahun. Sayangnya, minuman sufi ini mungkin tidak akan dinikmati oleh anak cucu kita.

Penyebabnya adalah pemanasan global. Naiknya suhu rata-rata membuat kopi Arabika yang “manja” dan harus ditanam di pegunungan untuk mendapat udara yang dingin ini akan kegerahan. Belum lagi naiknya suhu juga mengakibatkan makin banyaknya penyakit dan hama yang akan hinggap.

Itu di luar kekeringan. Hal itu membuat 80-90 persen dari 25 juta petani kopi dunia rentan terkena dampak perubahan iklim. Diperkirakan, pada 2080, tak ada lagi orang yang minum kopi Arabika.

Minuman yang disebarkan oleh ahli hadits dan dipakai oleh para sufi untuk berzikir ini mungkin akan tinggal kenangan. Tentu saja kita masih bisa berzikir tanpa kopi. Tapi, itu menunjukkan bahwa keserakahan dan ketidakpedulian kita telah membunuh bahkan memusnahkan salah satu ciptaan Allah.

Ada ribuan spesies yang akan musnah bersama kopi akibat ulah manusia. Kita mungkin tidak melihat dan merasakan kepunahan itu, tapi Allah tahu itu adalah tanggung jawab kita.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Sarjana Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain