Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 05 April 2020

Dunia Setelah Virus Corona

Virus-virus baru muncul seiring kenaikan emisi karbon akibat pembakaran energi fosil setelah Revolusi Industri. Dunia setelah virus corona akan bertambah pekat.

Polusi udara

PROFESOR Yuval Noah Harari menulis di Financial Times sebuah artikel yang menggugah dan—seperti biasa—mengajak kita bertualang pada segala kemungkinan yang berpijak pada sejarah pengetahuan. Judulnya: The World after Coronavirus—Dunia Setelah Virus Corona. 

Menurut Harari—sejarawan paling terkenal hari ini dari Israel—virus corona akan memicu dua kemungkinan negara-negara di dunia, setelah Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan infeksi nCov-2019 ini sebagai pandemi global: bersatu atau bercerai kian jauh. Tentu saja Harari mendorong dunia bersatu, berbagi informasi, berbagi beban, dan bergotong royong menghadapi problem-problem pelik di masa depan.

Apa yang ditemukan oleh peneliti virus di Inggris, akan berguna bagi pasien corona di Majalaya. Apa yang ditemukan para peneliti di Amerika, akan bermanfaat bagi masa depan Indonesia. Dunia sudah terkoneksi oleh teknologi, tak sepatutnya saling menutup diri. Peran-peran para ilmuwan akan bermanfaat bagi masa depan manusia.

Sebelum Ernest William Goodpasture, ahli patologi dari Amerika, menemukan vaksin flu pada 1931, 50-100 juta orang terbunuh oleh wabah influenza atau “flu Spanyol” pada 1918. Kini kita hanya perlu membeli obat sakit kepala ketika meriang dan hidung mampat.

Tapi Harari hanya menyoroti apa yang terjadi pada negara-negara dan sistem politik, hubungan negara dengan masyarakat lewat teknologi, kebiasaan-kebiasaan kita yang berubah akibat tabiat baru setelah work from home. Ia tak menyoroti masa depan planet ini.

Para ahli telah bersepakat bahwa kemunculan virus, jenis penyakit baru, bakteri, atau kuman-kuman ganas yang membahayakan manusia, muncul akibat perubahan alam. Selain karena proses evolusi secara alamiah, perubahan lingkungan jadi tak terkendali karena ulah kita merusak dan mempercepat kedatangan segala jasad renik yang tak kasat mata itu.

Virus telah bersarang ratusan tahun di tubuh satwa liar, di hutan-hutan larangan. Manusia terinfeksi karena kita mendekat ke habitat mereka, atas nama kebutuhan, keserakahan, atau kesombongan mahluk utama. Kita membabat hutan yang membuat satwa liar kehilangan habitat. Akibatnya mereka mendekat kepada manusia yang menunggu untuk memangsanya. Virus yang kehilangan rumah itu pun menjangkiti kita, membunuh manusia dalam seleksi alamiah yang dipaksakan.

Lalu apa yang terjadi dengan bumi ini setelah serangan corona mereda? Seperti Harari, kita harus melihatnya ke dalam sejarah.

Dunia telah mengalami guncangan-guncangan hebat, pandemi global yang lebih buruk dari sekarang, krisis terparah yang bisa ditanggungkan umat manusia. Invasi virus yang tercatat telah ada tahun 5.000 Sebelum Masehi, berlanjut ke era modern hampir tiap satu abad, dan berulang menjadi lebih sering sejak kita mengenal mesin uap yang menandai Revolusi Industri 1760.

BACA: 10 Wabah Terburuk di Era Modern

Butuh 13 tahun bagi Goodpasture menemukan vaksin flu. Teknologi dalam biologi belum berkembang ketika itu. Jumlah korban flu pun begitu gigantik karena obat lama dibuat. Dan sebab itu pula, orang kemudian mencari cara menemukan vaksin lebih cepat setelah menguji virusnya, menelaah perilakunya, sehingga mereka tahu cara mengelabuinya ketika bersarang di tubuh kita.

Penelitian-penelitian pun ditingkatkan, terutama dalam teknologi komunikasi dan informasi. Maka kini para ilmuwan tengah mencoba vaksin virus corona bahkan beberapa mengklaim telah menemukannya, meski obat itu efektif di sebuah negara tapi tak mempan di negara lain. Cuaca, keragaman daya tahan tubuh, membuat peneliti mesti merumuskan formula yang tepat untuk menghalau virus ini.

Internet dan teknologi canggih membuat penelitian biologi lebih mudah. Karena itu ada yang memperkirakan meski virus corona mematikan karena daya tularnya yang cepat, jumlah korbannya mungkin tak akan sebanyak virus flu Spanyol, meskipun Gabriel Leung, Kepala Departemen Kesehatan Masyarakat Hong Kong University, memperkirakan virus ini akan membunuh 50 juta penduduk bumi.

Pemerintah Cina berhasil menekan penularan hingga mengumumkan nol kasus baru pada 19 Maret 2020 setelah tiga bulan berjibaku menahan penularan lewat karantina wilayah di Provinsi Hubei dan sejumlah provinsi lain. Meski kini Cina menghadapi gelombang kedua serangan virus ini, kemajuan ilmu pengetahuan membuat pemerintah Cina bisa menentukan strategi jitu menghadang virus ini satu bulan sejak kasus infeksi pertama dilaporkan pada November 2019.

Wabah global di era modern.

Dunia setelah wabah adalah dunia yang sibuk dengan penelitian, laboratorium-laboratorium, dan teknologi medis. Kapitalisme menungganginya hingga pengobatan membuka peluang pelanggaran etis tentang hak sehat manusia, yang mahal, yang menguras sumber daya alam. Joseph Stiglitz, ahli ekonomi itu, pernah mengingatkan bahwa inovasi manusia justru membuat ketimpangan makin menganga. Seperti Harari, ia menganjurkan kolaborasi dalam pengobatan-pengobatan baru.

Kemajuan-kemajuan teknologi dan inovasi itu memerlukan energi, untuk menggerakkan mesin-mesin, untuk menopang hasrat kita mempermudah hidup. Setelah virus corona, dunia mungkin akan bergerak lebih trengginas dari apa yang kita alami sekarang. Perubahan-perubahan akan datang lebih cepat, termasuk mutasi virus-virus, karena energi menghasilkan emisi yang membuat keseimbangan bumi terguncang.

BACA: Virus Corona: Buah Kita Merusak Bumi

Seperti ditunjukkan dengan telak oleh Tai-Jin Kim dari Departemen Teknik Kimia Universitas Suwon, Korea Selatan. Dalam jurnal Biomedical Science and Engineering pada 2019, ia melacak tiga jenis flu paling mematikan di era modern: flu Spanyol, MERS, dan SARS. Kim menghubungkan jumlah konsentrasi emisi di atmosfer bumi dan jumlah bintik matahari sebagai indikator panas bumi dengan kemunculan virus-virus baru.

Dari banyak data, Kim menyimpulkan bahwa flu Spanyol dipicu oleh konsentrasi emisi karbon dioksida akibat deru mesin pabrik yang berproduksi selama Revolusi Industri paruh kedua pada 1870-1914. Emisi yang dilepas bumi itu mengotori atmosfer dan membuat lubang ozon kian menganga. Akibatnya sinar ultraviolet dari matahari kian deras menerpa bumi yang membuat ganggang di laut Polandia mati. Akibatnya penguin dan tiram tak punya makanan. Mereka sakit karena kelaparan, lalu berinteraksi dengan burung-burung laut yang juga kehilangan pakan.

Produksi emisi dan munculnya pandemi.

Ketika burung-burung itu bermigrasi ke laut Spanyol yang teduh pada Juli-Oktober 1918, ikan di sana tertular virus yang mereka bawa. Spanyol yang tak menyatakan sikap dalam Perang Dunia I terimbas mala ini. Pada November 1918, sekitar 100.000 penduduk Madrid dinyatakan terinfeksi virus asing yang belum ada obatnya. Sejak itu flu menyebar ke seluruh dunia dibawa oleh para prajurit yang pulang setelah perang yang usai.

Virus flu SARS, pada 2002, juga muncul dalam kondisi yang mirip. Selain gen dan cara hidupnya juga mirip flu Spanyol, ia juga muncul dari laut. Infeksi virus ini pada manusia pertama kali ditemukan di Provinsi Guangdong, yang dekat dengan Provinsi Guangxi yang menjadi muka Cina di Laut Cina Selatan, tempat 80% tiram Tiongkok diproduksi.

BACA: Berapa Lama Virus Corona Hidup di Luar Tubuh Manusia?

Apa yang terjadi pada masa itu? Cina sedang menggenjot mesin-mesinnya dengan industri batu bara. Dalam 20 tahun sejak 1980, jumlah emisi yang dilepas seluruh sektor di Cina naik 3 miliar ton setara CO2. Makanan laut diduga terinfeksi oleh burung-burung yang bermigrasi dari Antartika pada musim mencari makan menjelang Maret.

Kemunculan SARS sama belaka dengan virus corona nCov-19 yang kini tengah mewabah di dunia. Virus ini muncul pertama kali di pasar ikan Provinsi Huanan di Tiongkok pada November 2019 lalu menyebar ke Wuhan di Hubei. Meski belum pasti dari makanan laut, karena ada dugaan virus berasal dari tenggiling yang terinfeksi oleh kelelawar sebagai pembawa gennya, virus ini mirip dengan SARS maupun flu Spanyol.

Kenaikan suhu dan munculnya virus baru.

Soal hewan apa yang membawa virus itu kini tak terlalu penting. Menurut Kim, virus bertahan hidup dengan cara hinggap di mahluk bernyawa dan menghindari ultraviolet. Lalu lintas burung dan kelelawar yang saling mengintersepsi bisa menjadi medium penularan. Kelelawar menjadi inang yang sempurna bagi virus karena mereka hidup dalam gua yang terhindar dari panas matahari. Manusia kemudian menangkapnya, menjualnya ke pasar, lalu menghidangkannya di meja makan.

Apakah dunia akan belajar dari pelbagai wabah ini? Tentu. Tapi kita akan memacu lebih kencang produksi yang menghabiskan energi. Setelah flu Spanyol maupun SARS, emisi yang dilepas pelbagai negara cenderung naik karena kita kembali bersaing berebut pasar dan sumber daya alam. Bahkan, setelah wabah, dunia berpacu lebih kencang dari sebelum karantina wilayah.

Baca: Cara Cina Menangani Virus Corona

Martin Reeves, penasihat bisnis banyak perusahaan di Cina, melaporkan di Harvard Business Review bahwa pabrik-pabrik Cina kembali berproduksi hampir menyamai produksi sebelum lockdown di pekan pertama setelah karantina dicabut. Kepada Reeves, para pemilik pabrik bertekad menggenjot produksi untuk menambal lubang kerugian akibat penghentian operasi selama wabah untuk mengejar target produksi tahunan.

The Economist dan Carbon Brief bahkan memperkirakan industri Cina akan menaikkan produktivitas mesin lima kali lipat di banding sebelum wabah. Artinya, emisi yang dilepas juga akan bertambah sebanyak itu. Cina kini menduduki peringkat pertama negara penghasil emisi sebanyak 13,4 miliar ton setara CO2 pada 2019, atau 13 kali lipat emisi yang dihasilkan Indonesia.

Emisi Cina setelah wabah SARS 2002.

Emisi juga turut berperan dalam kemunculan virus flu Timur Tengah (MERS) pada 2012. Unta-unta di kawasan itu diduga menjadi pembawa gen virus ini akibat memakan pakan yang terkontaminasi burung dan paus di pesisir pantai Teluk Persia, setelah kawasan itu dihebohkan oleh begitu banyak ikan dan lumba-lumba yang mati secara misterius. Seperti Cina, sejak 1980-an, Timur Tengah menikmati bonanza minyak yang membuat negara-negara di sana berlomba membangun gedung-gedung pencakar langit. Dua tahun sebelum wabah menyebar, negara-negara Timur Tengah membakar minyak lebih banyak di banding tahun-tahun sebelumnya.

Dunia akan makin merana karena emisi adalah satu sisi dari mata uang bumi. Sisi lainnya adalah temperatur. Emisi yang naik akan memicu kenaikan suhu permukaan bumi dan laut. Satelit NASA merekam kenaikan suhu bumi dalam 100 tahun terakhir sebesar 0,80 Celsius. Para ahli, sejak Charles Darwin hingga Theodosius Dobzhansky, telah bersepakat bahwa suhu adalah mesin tak terlihat yang memicu mutasi gen jasad-jasad renik dalam proses seleksi alamiah di alam.

BACA: Benarkah Virus Corona Bukan Senjata Biologis?

Kenaikan suhu juga dipicu oleh makin bertambahnya manusia. Revolusi Industri membuat dunia kian nyaman, yang mendorong kita memproduksi bayi. Sebuah kebetulan yang menyenangkan karena pertambahan penduduk selalu naik tiap kali selesai wabah atau bencana alam. Pembatasan sosial skala besar yang sudah dilakukan sejak flu Spanyol, membuat restriksi wilayah menjadi ilham tiap kali wabah menyerang. Akibatnya, tiap-tiap orang bertahan di rumah dan lebih banyak waktu untuk bercinta.

Penelitian-penelitian populasi dan demografi setelah wabah menunjukkan jumlah bayi yang lahir naik sembilan bulan setelah pemberlakuan karantina wilayah untuk mencegah virus meluas. Apalagi, akibat karantina total di Malaysia akibat wabah corona, produsen kondom terbesar di sana menghentikan produksinya.

Jumlah penduduk dunia dalam delapan abad.

Emisi dan jumlah penduduk adalah kombinasi maut yang menaikkan suhu bumi, mendorong naiknya kebutuhan dasar, dan meningkatkan eksploitasi sumber daya alam. Kita belum tahu apakah norma dan budaya modern akan memicu ledakan penduduk setelah virus corona mereda, mengingat kini industri alat bantu seks kian diminati.

Yang pasti, langit biru dan bersih di Cina, di Italia, di Jakarta, atau Amerika, karena emisi berkurang, hanya terjadi sesaat. Setelah vaksin ketemu, setelah virus berkurang, setelah wabah mereda, dunia akan kembali berpacu dalam kecepatan yang mengerikan.

Gambar oleh marcinjozwiak dari Pixabay.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Mengelola blog catataniseng.com. Menjadi wartawan sejak 2001 dan penerima penghargaan Mochtar Lubis Award serta Jurnalis Jakarta Award untuk liputan investigasi. Bukunya: #kelaSelasa: Kumpulan Twit tentang Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain